Manusia sudah dibiasakan mengukur. Untuk mengukur dibutuhkan alat ukur. Yang diukur pun macam-macam. Bisa berat,
volume, kadar, panjang dan lain-
lain. Sehingga kita kenal satuan
ukuran kilogram, meter, liter,
karat, sendok makan, sendok teh,
dan masih banyak lagi.
Ukuran panjang juga bisa macam-
macam. Yang paling umum kita
kenal “meter”. Tapi ditempat lain
ada “inci”. Bahkan dulu kita kenal
“elo” dan “hasta”. Anak kecil yang
bermain-main di halaman pun juga sekali-sekali mengukur. Misalnya dengan “jengkal” atau “langkah”. Masalah mulai timbul karena ukuran “jengkal” dan “langkah” tiap anak tidak sama. Yang lebih gede pasti “jengkal” dan “langkah”nya akan lebih panjang.
Semakin maju manusia, yang
diukur pun semakin rumit. Dengan
semakin berkembangnya Iptek,
manusia sekarang mampu mengukur jarak bumi ke bulan,
planet, matahari, bahkan bintang-
bintang di galaksi lain. Pendek kata
hampir semua yang terhampar di
alam raya ini sudah bisa diukur.
Sayangnya ada satu hal amat
penting yang kemudian seolah-olah terabaikan, yaitu perasaan hati. Repotnya perasaan hati ini alat ukurnya tidak dijual di toko dan tidak mungkin diproduksi di pabrik manapun.
TEPA SELIRA
Sebenarnya Tuhan sudah menganugerahi kita semua dengan alat ukur batin yang canggih, yang kita kenal dengan
sebutan “tepa selira”. “Tepa” adalah ukuran atau timbangan dan “selira” adalah badan. Jadi pengertian harfiah “tepa selira” adalah mengukur badan manusia dan yang digunakan sebagai alat ukur juga badan manusia sendiri. Adapun definisi operasionalnya adalah “Seandainya kita ingin melakukan sesuatu kepada sesama manusia, untuk tahu enak atau tidak enaknya, ya harus diukur (di”tepa”) dengan alat ukur satu-satunya yang ada, yaitu diri kita sendiri. Pelaksanaan operasional yang. paling sederhana adalah: Kalau kita tidak suka diperlakukan seperti itu, ya jangan begitu.
Tepa selira adalah alat ukur yang
amat halus, sehingga hanya dimiliki oleh orang yang punya perasaan halus. Orang yang punya rasa kasih sayang dengan sesamanya. Orang yang suka menolong dan tidak tega membuat susah orang lain.
MANUSIA YANG TIDAK TAHU UKURAN
Tepa selira bisa punya dua arti: (1)
Tepa selira untuk orang lain, yaitu
menerapkan perlakuan untuk orang lain sesuai ukuran diri kita, dan (2) Tepa selira untuk diri sendiri, yaitu melakukan sesuatu untuk diri kita sesuai kapasitas fisik dan mental kita.
Orang yang tidak mampu
menerapkan ukuran untuk diri
pribadi (2) sudah barang tentu akan memperoleh kesulitan untuk
menerapkan sesuatu kepada orang
lain (1). Beberapa contoh tepa
selira untuk diri sendiri dapat
dipirsani di bawah ini:
1. Bekerja keras itu baik. Tetapi
bekerja melampaui batas pada
akhirnya akan merugikan diri
sendiri.
2. Demikian pula makan, tidur dan
bersenang-senang yang melampaui batas tidak akan baik bagi diri kita.
3. Hobi itu baik. Tetapi kalau
kemudian terlalu kecanduan juga
menjadi tidak baik.
Orang yang tidak mampu “tepa
selira” untuk orang lain akan
menjadi sewenang-wenang, lebih-
lebih kalau ia seorang pimpinan.
Oleh sebab itu Sri Mangkunegara
III memberikan wasiyat: Yen
parentah wong, sarat kudu nglakoni dhisik. Maksudnya supaya bisa tepa selira, tahu empan papan.
MANUSIA YANG TAHU UKURAN
Panas badan dapat diukur dengan
termometer, tetapi termometer
tidak bisa digunakan untuk
mengukur panasnya hati. Alat ukur
panas hati adalah “tepa selira”. Alat ukur meningkatnya tekanan gas adalah manometer. Tetapi apakah alat ukur untuk meningkatnya tekanan hawa nafsu? Kembali “tepa selira” adalah jawabnya.
Orang yang memiliki rasa tepa
selira, sekalipun hatinya panas dan
nafsu amarahnya meningkat, pasti
mampu menempatkan perasaannya, sehingga ia tidak tega berbuat kasar sekalipun ia benar.
TEPA SELIRA DAN KEMAJUAN
JAMAN
Abad ke 21 sekarang ini disebud juga era perubahan, era globalisasi, era persaingan dan masih banyak lagi era era yang lain. Yang jelas manusia semakin maju, semakin berubah dan banyak semakin semakin yang lain pula. Yang semakin baik dan yang semakin buruk dua-duanya maju sama cepatnya.
Menggaris bawahi “kemajuan hal-
hal buruk” dalam diri manusia, hal
ini antara lain karena hilangnya
“tepa selira” dalam kompetisi yang
tidak sehat. Misalnya dalam
mengejar keunggulan dan
keluhuran. Keunggulan maupun
keluhuran dimaksud hendaknya
dicari dan kalau perlu dikejar
dengan cara yang baik, bukan
direbut dari orang lain dengan cara yang tidak betul.
Hanya orang yang sudah memiliki
sifat “waspada” yang dikerata-basakan menjadi “awas” ing “pada” (“Pada” adalah tempat berhenti) yang mengerti kapan dan bagaimana ia harus bersikap dengan menggunakan alat ukur
batinnya yang peka, yaitu “tepa
selira”. Mudah-mudahan
kemampuan mengukur batin ini
masih belum tertinggal dan
ditinggalkan.
modernisasi membuat seseorang semakin tidak manusiawi, maka
BalasHapusSAYA PEGANG AJARAN MULTATULI BAHWA KEWAJIBAN MANUSIA ADALAH MENJADI MANUSIA. (OM PRAM)
Iyups...aku juga pernah dengar quotes itu.
HapusSemoga kita bisa menjadi sebenar-benarnya manusia yang bisa memanusiakan orang lain. Oke...oke..
aminn..
BalasHapussemoga semakin banyak orang yang menjaga hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam.
iya... seimbang, itu yg paling sempurna.
Hapus