30.4.13
Become a Volunteer ? Ya, it's my great dreams !
27.4.13
Nasibku (Pahlawan)
26.4.13
Risih dan Tertekan
22.4.13
Salahkah jika diri hanya berusaha selalu benar ?
∂ķΰ pengen curhat dikit nih..
Kupikir hari ini sih aman-aman ªjª, tp ternyata di penghujung malam ini dateng deh pengacau jalannya tidurku menuju mimpi indahku. Tau siapa ???
19.4.13
Hapus Semua Jasamu !
18.4.13
Kacau.. !!!
17.4.13
(bukan) QUOTES
16.4.13
TIPE - TIPE ORANG MENYEBALKAN dan DIMANA MEREKA BEREDAR
15.4.13
Kekerasan adalah Kebiadaban
KATA BIJAK ALA ANIME
- "Bisa bersama dengan seseorang, walaupun tidak melakukan apa2, adalah momen yang sangat berharga." (miki nakahara - girls love story)
- "Terkadang kita itu harus diam dan mencoba untuk menjadi pendengar yang baik." (Kisame - Naruto)
- "Hal yang paling kubenci adalah orang yg menginjak-injak niat baik orang lain!" (Light Yagami - Death Note)
Pajak
Orang pintar taat pajak,
Orang bodoh makan pajak,
Orang bijak tidak diajak,
Orang waras membajak pajak.
Darah Juang (pesan ibu)
Teriakan anti Liberalism
14.4.13
Sejarah Kata: "Bajingan"
“Bajingan!”
Emang ya..kita sering banget denger itu kata dilingkungan kita, bahkan mungkin malah kita juga pernah tuh dikatain orang dengan kata Bajingan itu. Tapi....*ups jangan berpikir (-) dulu, disini aku mau cerita tentang sebuah artikel dari Kompasiana tentang asal usul kata Bajingan itu tadi. Hihihii
Bagi masyarakat umum kata bajingan ini sudah termasuk kata yang buruk, kasar atau tidak sopan. Namun tahukah anda apa sebenarnya arti katabajingan? Kenapa bisa jadi sebuah kata umpatan? Ternyata ada sejarahnya sendiri, walau saya juga tidak tahu cerita ini ’shahih’ atau tidak.Bajingan ternyata sebuah profesi, yaitu pengemudi gerobak sapi atau kusir gerobak yang ditarik oleh sapi. Kenapa profesi yang cukup baik ini menjadi sebuah kata umpatan? Konon, dulu di Jawa dulu ada cerita, pada masa dimana kendaraan belum banyak, masyarakat yang ingin bepergian ke kota untuk urusan dagang, atau sekedar mejeng dan sebagainya mengandalkan transportasi gerobak sapi ini, dengan ikut nebeng.Karena jam lewatnya tidak tentu, pagi, siang, sore, bahkan malam hari, kadang yang menunggu berjam-jam jadi tidak sabar,”Bajingane kok suwe temen!” atau “Tekane suwe temen sih bajingan!” yang berarti lama banget bajingan datangnya.
Dari sini terus ada pergeseran arti bajingan. Dahulu pun kata bajingan digunakan untuk menggambarkan keterlambatan seseorang atau sesuatu. “Suwe temen sih kaya bajingan!”. Lama bener sih seperti bajingan!
11.4.13
Saat Virus Gemuk Melanda

8.4.13
Tepa Selira
Manusia sudah dibiasakan mengukur. Untuk mengukur dibutuhkan alat ukur. Yang diukur pun macam-macam. Bisa berat,
volume, kadar, panjang dan lain-
lain. Sehingga kita kenal satuan
ukuran kilogram, meter, liter,
karat, sendok makan, sendok teh,
dan masih banyak lagi.
Ukuran panjang juga bisa macam-
macam. Yang paling umum kita
kenal “meter”. Tapi ditempat lain
ada “inci”. Bahkan dulu kita kenal
“elo” dan “hasta”. Anak kecil yang
bermain-main di halaman pun juga sekali-sekali mengukur. Misalnya dengan “jengkal” atau “langkah”. Masalah mulai timbul karena ukuran “jengkal” dan “langkah” tiap anak tidak sama. Yang lebih gede pasti “jengkal” dan “langkah”nya akan lebih panjang.
Semakin maju manusia, yang
diukur pun semakin rumit. Dengan
semakin berkembangnya Iptek,
manusia sekarang mampu mengukur jarak bumi ke bulan,
planet, matahari, bahkan bintang-
bintang di galaksi lain. Pendek kata
hampir semua yang terhampar di
alam raya ini sudah bisa diukur.
Sayangnya ada satu hal amat
penting yang kemudian seolah-olah terabaikan, yaitu perasaan hati. Repotnya perasaan hati ini alat ukurnya tidak dijual di toko dan tidak mungkin diproduksi di pabrik manapun.
TEPA SELIRA
Sebenarnya Tuhan sudah menganugerahi kita semua dengan alat ukur batin yang canggih, yang kita kenal dengan
sebutan “tepa selira”. “Tepa” adalah ukuran atau timbangan dan “selira” adalah badan. Jadi pengertian harfiah “tepa selira” adalah mengukur badan manusia dan yang digunakan sebagai alat ukur juga badan manusia sendiri. Adapun definisi operasionalnya adalah “Seandainya kita ingin melakukan sesuatu kepada sesama manusia, untuk tahu enak atau tidak enaknya, ya harus diukur (di”tepa”) dengan alat ukur satu-satunya yang ada, yaitu diri kita sendiri. Pelaksanaan operasional yang. paling sederhana adalah: Kalau kita tidak suka diperlakukan seperti itu, ya jangan begitu.
Tepa selira adalah alat ukur yang
amat halus, sehingga hanya dimiliki oleh orang yang punya perasaan halus. Orang yang punya rasa kasih sayang dengan sesamanya. Orang yang suka menolong dan tidak tega membuat susah orang lain.
MANUSIA YANG TIDAK TAHU UKURAN
Tepa selira bisa punya dua arti: (1)
Tepa selira untuk orang lain, yaitu
menerapkan perlakuan untuk orang lain sesuai ukuran diri kita, dan (2) Tepa selira untuk diri sendiri, yaitu melakukan sesuatu untuk diri kita sesuai kapasitas fisik dan mental kita.
Orang yang tidak mampu
menerapkan ukuran untuk diri
pribadi (2) sudah barang tentu akan memperoleh kesulitan untuk
menerapkan sesuatu kepada orang
lain (1). Beberapa contoh tepa
selira untuk diri sendiri dapat
dipirsani di bawah ini:
1. Bekerja keras itu baik. Tetapi
bekerja melampaui batas pada
akhirnya akan merugikan diri
sendiri.
2. Demikian pula makan, tidur dan
bersenang-senang yang melampaui batas tidak akan baik bagi diri kita.
3. Hobi itu baik. Tetapi kalau
kemudian terlalu kecanduan juga
menjadi tidak baik.
Orang yang tidak mampu “tepa
selira” untuk orang lain akan
menjadi sewenang-wenang, lebih-
lebih kalau ia seorang pimpinan.
Oleh sebab itu Sri Mangkunegara
III memberikan wasiyat: Yen
parentah wong, sarat kudu nglakoni dhisik. Maksudnya supaya bisa tepa selira, tahu empan papan.
MANUSIA YANG TAHU UKURAN
Panas badan dapat diukur dengan
termometer, tetapi termometer
tidak bisa digunakan untuk
mengukur panasnya hati. Alat ukur
panas hati adalah “tepa selira”. Alat ukur meningkatnya tekanan gas adalah manometer. Tetapi apakah alat ukur untuk meningkatnya tekanan hawa nafsu? Kembali “tepa selira” adalah jawabnya.
Orang yang memiliki rasa tepa
selira, sekalipun hatinya panas dan
nafsu amarahnya meningkat, pasti
mampu menempatkan perasaannya, sehingga ia tidak tega berbuat kasar sekalipun ia benar.
TEPA SELIRA DAN KEMAJUAN
JAMAN
Abad ke 21 sekarang ini disebud juga era perubahan, era globalisasi, era persaingan dan masih banyak lagi era era yang lain. Yang jelas manusia semakin maju, semakin berubah dan banyak semakin semakin yang lain pula. Yang semakin baik dan yang semakin buruk dua-duanya maju sama cepatnya.
Menggaris bawahi “kemajuan hal-
hal buruk” dalam diri manusia, hal
ini antara lain karena hilangnya
“tepa selira” dalam kompetisi yang
tidak sehat. Misalnya dalam
mengejar keunggulan dan
keluhuran. Keunggulan maupun
keluhuran dimaksud hendaknya
dicari dan kalau perlu dikejar
dengan cara yang baik, bukan
direbut dari orang lain dengan cara yang tidak betul.
Hanya orang yang sudah memiliki
sifat “waspada” yang dikerata-basakan menjadi “awas” ing “pada” (“Pada” adalah tempat berhenti) yang mengerti kapan dan bagaimana ia harus bersikap dengan menggunakan alat ukur
batinnya yang peka, yaitu “tepa
selira”. Mudah-mudahan
kemampuan mengukur batin ini
masih belum tertinggal dan
ditinggalkan.
6.4.13
www.ngeles.com
Mungkin karena potensi ngeles besar banyak pengacara jadi terkenal dan kaya raya. Jadi kepiawaian ngeles bisa menjadikan orang menjadi kaya raya. Namun tidak selamanya untuk disegani.
Kesimpulanya jika ingin menjadi pejabat besar maka belajarlah ilmu Ngeles. Karena hingga kini ilmu kejujuran belum terlau diperlukan di negara ini. Ngeles masih menduduki rangkin satu sebelum berhadapan dengan hukum. Bahkan paling parah kadang ngeles juga menjadi benar ketika hukum bisa dibeli. Boleh jadi ekstrim namun itulah sebenarnya yang terjadi ngeles kadang menjadikan orang besar. Istilah sepandai-pandai tupai melompat akan jatuh juga tidak menjadi masalah lagi . Bayangkan sudahpun jatuh toh tidak ada yang menertawainya. Maka jika ada pejabat yang suka ngeles ketahuan juga sepertinya sudah tidak malu lagi. Apalagi pihak yang harusnya bisa memberikan terguran atas kebiasaan buruk itu malah diam dan bahkan mau diperbudak . Maka kelakuan ngeles akan semakin menjadi-jadi. Di tingkat lokal bisa-bisa saja melakukan pembohongan namun ketika ditingkat media Nasional maka akan menjadi babak belur ketika banyak mata menilai itu saatnya terjatuh secara moral dan kebenaran. (Chief Of Editor)
Dikutip :
mediadairipers.blogspot.com/2013/02/ngeles-dot-com.html?m=1
5.4.13
Tarung Twitter ala X-Factor
Kritik, boleh.
Tapi BULLY itu KRIMINAL ! "
-Anggun C. Sasmi-
"... itu sih karna mereka Ъќ berani di dunia nyata, hanya berani di dunia maya."
-Ahmad Dhani-
3.4.13
Sawang Sinawang
Karna itu “ Lihatlah apa yang dikatakan tapi jangan liat siapa yang mengatakan. ”
Apa yang disebut MULIA
Populer
1.4.13
Terkadang...
Terkadang aku menulis untuk
membalas dendam
Terkadang hanya untuk menghapus sesal
Terkadang aku menulis untuk membuang penat
Terkadang aku menulis untuk meluapkan amarah
Terkadang aku menulis untuk membagi kisah
Terkadang aku menulis untuk mengenang seseorang
Terkadang aku menulis untuk membagi kegembiraan
Terkadang..
Terkadang karena aku pun lelah bergumam
Malu kah dirimu ?
Rasa
malu terpuji selanjutnya adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah
yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak
pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan
yang dia miliki.
Rasa malu dengan sesama akan mencegah
seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina.
Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua
larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama
banyak orang atau pun saat sendiri tanpa siapa pun yang menyertai.
Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa
takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari pengenalan
terhadap Allah dan keagunganNya. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat
dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan
adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.
Adapun malu yang tercela adalah malu di hadapan manusia ketika
menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Misalnya, malu untuk
menyampaikan kebenaran dan menuntut ilmu, atau pun dalam menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran, malu memakai jilbab yang
syar’i, dan malu mencari nafkah untuk keluarga karena dirinya bukan
seorang bos.
Qadhi ‘Iyadh rahimahullah dan yang lainnya
mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang
disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Sementara
perbuatan ini masih disebut malu, karena menyerupai malu yang
disyari’atkan.” Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya
menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada
Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya,
menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi
tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada
hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidak-berdaya an. [Lihat Qawa’id wa
Fawaid (hal. 182)]
Keberanian Sejati
karena di sanalah terpancar sinar kebenaran,
ketulusan,
&
kelemah lembutan hati.
Keberanian untuk berbuat tidak baik akan menjadikan hati jauh dari kedamaian karena di sana sebenarnya bersemayam ketakutan akan bayangan kebenaran yang tak terbantahkan oleh nurani.